Perempuan selalu
identik dengan keindahan, kelembutan dan mungkin kelemahan. Sifat-sifat
tersebut terlihat dari bentuk fisik, gerak dan suaranya. Maka, tak
jarang identitas gen tersebut sering dijadikan amunisi utama distinguis
laki-laki dan perempuan. Islam adalah agama yang telah lama berkenalan
dengan perempuan, memposisikan perempuan sesuai fitrah diciptakannya,
perempuan pun turut memiliki kedudukan mulia sebagai khalifah layaknya
kaum Adam. Peranan sentralnya sebagai pembentuk generasi shalih menjadi
tumpuan utama bagi proses perjalanan kehidupan.
Namun,
seiring dengan perjalanan waktu. Disadari atau pun tidak, timbul dilema
baru dalam diri seorang perempuan dan ini menjadi kemelut
berkepanjangan dalam masyarakat. Saat ini, mereka - kaum hawa - harus
bekerja keras banting tulang mencari nafkah menggantikan tugas
laki-laki. Laki-laki sendiri seolah kehilangan kesempatan pekerjaan
sebab dominasi “wonder women” telah semakin menjamur
mengisi pos-pos penting Institusi dan Departemen; yang berakibat pada
kompetisi diam-diam satu pihak dengan lainnya (baca : laki-laki dan
perempuan), postulat semacam ini kerap menimbulkan masalah psikologis
tersendiri bagi laki-laki. Tetapi benarkah label perempuan karir satu-satunya ikon kebebasan perempuan?
Saat
ini, berkarier bagi mereka benar-benar dijadikan sebagai jalan
mengaktualisasikan diri dan membentuk identitasnya, tetapi terkadang
diikuti pengingkaran kodratnya sebagai “mahluk (yang) halus”. Dalam
sebuah buku, seorang penulis Inggris menyebutkan; ciri-ciri perempuan karier
menurutnya adalah mereka tidak suka berumah tangga, enggan berfungsi
sebagai ibu, tingkat emosinya berbeda dengan perempuan-perempuan non
karier, dan biasanya kebanyakan mereka menjadi perempuan melankolis.
Sebuah lembaga pengkajian strategis di Amerika telah mengadakan polling
seputar pendapat para perempuan karir tentang karir seorang perempuan.
Dari hasil polling tersebut di dapat kesimpulan, sesungguhnya perempuan
saat ini sangat keletihan dan 65 % dari mereka mengutamakan untuk
kembali ke rumah mereka, masalahnya tidak sampai disitu, perempuan
bagaimanapun jua berbeda dengan laki-laki, dalam perjalanan kariernya
perempuan umumnya lebih sering mengalami apa yang disebut sebagai efek
“langit-langit kaca” (glass ceiling). Langit-langit kaca adalah sebuah artificial barrier yang menghambat wanita mencapai posisi puncak di institusi tempat ia bekerja.
Secara
faktual kaum hawa melihat posisi puncak itu dan merasa mampu
mencapainya, tetapi pada kenyataannya, realisainya tersebut sulit
tercapai sebab langit-langit kaca tadi malah menjadi tameng kuat bagi
mereka. Hal demikian disebabkan karena hakikat kodratinya yang tak dapat
dipungkiri, karena bagaimanapun perempuan memiliki kekhasan secara
fisik dan psikis.
Menyinggung tentang peran perempuan di luar rumah, tak lepas dari wacana yang banyak digulirkan, yaitu, emansipasi.
Namun, jika merunut pada akar sejarahnya gerakan emansipasi tumbuh
sejak awal abad XX, propaganda gerakan ini justru muncul dari pihak
laki-laki dan hanya sedikit saja peran perempuan. Awalnya gerakan
emansipasi hanyalah seruan kepada pemerintah untuk memperhatikan
kesempatan pendidikan akademis bagi perempuan. Seruan ini cukup mendapat
simpati karena aktivitasnya mengarah kepada peningkatan kecerdasan,
keleluasaan gerak perempuan dalam ruang sosial dan berusaha menciptakan
generasi baru yang lebih cakap dan berkualitas.
Seiring dengan perkembangan zaman mereka tidak saja menyerukan pentingnya mendapatkan pendidikan, tapi juga meneriakkan persamaan derajat, kebebasan dan peningkatan karir di segala bidang. Munculah gerakan besar-besaran untuk mendapatkan kesempatan agar bisa tampil di ruang publik, bekerja dan melakukan aktivitas apa saja layaknya kaum Adam. Mereka beralasan perempuan yang tinggal di rumah adalah wanita yang terstagnasi dan terpasung eksistensi dirinya, perempuan seperti ini sama sekali tidak menunjang usaha produktivitas. Menurut golongan ini perempuan secara intelektual sama dengan laki-laki, mereka berasumsi jika perempuan yang telah beralih profesi sebagai ibu rumah tangga dianggap wanita ekslusif yang bakal kehilangan partisipasinya dalam masyarakat; karena bagi mereka apa yang dikerjakan laki-laki dapat pula dikerjakan oleh perempuan. Mereka menyamakkan segala hal antara laki-laki dan perempuan, padahal kita tidak dapat menutup mata jika terdapat hal mendasar - mungkin mereka lupa - antara laki-laki dan perempuan yang tidak mungkin disamakan.
Isu
gerakan emansipasi dan karirisasi ini tak ayal lagi sering dijadikan
lahan bisnis bermuatan politis. Oleh karena itu, bagi mereka yang
dicurigai menghalangi gerakan emansipasi di sebut sebagai kaum
terbelakang. Sementara itu, agama sendiri sering dijadikan kambing hitam
perkara sebagai entitas nyata yang menghalangi gerakan tersebut.
Demikianlah gambaran dari realitas perkembangan kehidupan sosial kaum
hawa di berbagai negara, termasuk di negeri kita, Indonesia, yang kian hari kian sering memposisikan gelar perempuan karir sebagai new freedom dunia industri made in west.
Lantas bagaimana karir perempuan dalam perspektif Islam?
Islam menjunjung tinggi derajat perempuan, menghormati kesuciannya
serta menjaga martabatnya, maka, dalam kehidupan sehari-hari Islam
memberikan tuntunan dengan ketentuan hukum syariat yang akan memberikan
batasan dan perlindungan bagi kehidupan perempuan, semuanya disediakan
Islam sebab perempuan memang istimewa, agar perempuan tidak menyimpang
dari apa yang telah digariskan Allah terhadap dirinya, semuanya
merupakan bukti bahwa Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim terhadap seluruh
hamba-hambaNya.
Allah menciptakan kaum Adam dan Hawa sesuai fitrah dan karakter keduanya yang unik. Secara alami (sunatullah),
laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan melakukan pekerjaan
yang berat, menjadi pemimpin dalam segala urusan, khususnya keluarga,
Negara dan lain-lain. Kaum Adam pun dibebani padanya tugas menafkahi
keluarga secara layak. Sedangkan bentuk fitrah perempuan yang tidak bisa
di gantikan laki-laki adalah, mengandung, melahirkan, menyusui, serta
menstruasi yang sering mengakibatkan kondisinya labil, selera makan
berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya
pikir. Perempuan hamil ketika melahirkan membutuhkan waktu istirahat
cukup banyak, kemudian menunggu hingga 40/60 hari dalam kondisi sakit
dan merasakan tekanan yang demikian banyak. Ditambah masa menyusui yang
menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi
menikmati makanan dan gizi yang di makan sang ibu, sehingga otomatis
dapat mengurangi stamina si ibu. Haruskan “beban” berat alamiah tersebut
diperparah dengan tugas di luar tanggungjawabnya?
Oleh
karena itu, Dînul Islâm menghendaki agar perempuan melakukan pekerjaan/
karir yang tidak bertentangan dengan kodrat keperempuanannya dan tidak
membatasi haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek yang menyinggung
garis-garis kehormatannya, kemuliaannya dan ketenangannya, yang dapat
berakibat pada pelecehan dan pencampakan. Peran muslimah selain mendidik
anak-anaknya, diharapkan berbuat baik pada suami dan menaatinya setelah
ketaatannya pada Allah Swt. Rasulullah SAW memuji perempuan shalihah
dengan haditsnya ketika beliau ditanya tentang siapakah sebaik-baiknya wanita? Rasulullah
SAW bersabda; yang artinya: “Perempuan yang menyenangkan jika
dipandang, menurut jika diperintah, tidak mengingkari dirinya dan
hartanya sesuatu yang dilarang” (H.R. An-Nasa’i).
apakah wanita berkarier dapat meluangkan waktunya bersama keluarga jika terlalu sibuk dgn pekerjaan?
BalasHapusapakah wanita penting memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria?
BalasHapus